Jakarta, Gizmologi – Pernyataan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK dan Satgas Waspada Investasi (SWI) terkait pelarangan pihak perbankan memfasilitasi transaksi kripto menuai kontroversi. Pasalnya, pernyataan OJK larang fasilitasi kripto ini tak seirama dengan kebijakan institusi lain. Aset kripto telah dikukuhkan sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan dengan pengawasan di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Anto Prabowo, Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK, dalam keterangan pers Jumat lalu (4/2) mengatakan pihaknya berkoordinasi dengan SWI memastikan rekening bank tidak digunakan untuk melakukan tindakan yang melawan hukum seperti penipuan, perjudian, pencucian uang, investasi ilegal, dan/atau yang mengandung skema ponzi.
“OJK juga meminta kepada industri perbankan untuk memastikan penggunaan rekening bank tidak melanggar hukum. Perbankan diminta waspada agar rekening bank tidak dijadikan sebagai penampung dana dari kegiatan seperti kripto atau investasi dengan skema ponzi,” ujar Anto.
Baca juga: 9 Faktor Penting Analisis Fundamental untuk Investasi Aset Kripto
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, sebagaimana dilansir dari laman Investor, juga menegaskan bahwa OJK melarang lembaga jasa keuangan memfasilitasi perdagangan aset kripto. Menurutnya, kripto sangat berisiko sebab tidak memiliki nilai fundamental yang kuat, tetapi sangat volatile. Sementara masyarakat sudah banyak melakukan trading kripto yang mungkin belum memahami risiko yang akan ditimbulkan.
“Investasi tersebut memiliki risiko yang sangat tinggi karena hampir tidak memiliki nilai fundamental. Beberapa regulator di seluruh dunia juga telah mengungkapkan kekhawatiran bahwa produk keuangan digital mungkin digunakan kegiatan pencucian uang,” ujar Wimboh.
Pengamat Kritik Pernyataan OJK Larang Fasilitasi Kripto
Teguh K. Harmanda, Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) mengatakan pihak asosiasi menghargai pernyataan dari OJK larang fasilitasi kripto. Namun, sejauh ini asosiasi telah berupaya untuk menempatkan perdagangan kripto sesuai aturan main dan melengkapi perlindungan hukum.
Menurutnya, ini sudah semestinya bagi Aspakrindo untuk menjaga industri agar tumbuh secara sehat. Contohnya pada industri aset kripto yang sudah menerapkan rekomendasi terhadap APU/PPT, adanya pelaporan yang diwajibkan oleh Bappebti setiap harinya, dan melaporkan jika menemukan transaksi mencurigakan.
“Kami yakin sekali, bahwa transaksi aset kripto yang berjalan saat ini sudah seirama dengan mitigasi risiko yang kita khawatirkan bersama pada industri keuangan secara luas,” tegas Teguh.
Sementara itu Nailul Huda, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pernyataan OJK larang fasilitasi kripto itu menandakan adanya ketidakselarasan antar instansi pemerintah. Pasalnya, aset kripto sendiri telah dirancang sebagai komoditas oleh Bappebti di bawah Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Bappebti juga telah merancang aturan terkait perdagangan dan pedagang kripto secara resmi. Artinya, selama transaksi dilakukan oleh pedagang kripto terdaftar dan diawasi Bappebti, skema perdagangan kripto layaknya komoditas ataupun produk derivatif lainnya.
“Di satu sisi Bappebti berupaya memfasilitasi industri ini, tapi di sisi lain ada institusi lain yang punya pandangan lain. OJK dan Bappebti ini ngobrol dulu lah. Tren aset kripto ini kan sudah jalan beberapa tahun terakhir,” sindir Nailul.
OJK larang fasilitasi kripto yang ilegal
Lebih lanjut, ia memahami sudut pandang OJK yang masih mempersepsikan aset kripto berpotensi sebagai alat tukar layaknya uang fiat, karena namanya adalah cryptocurrency. Sedangkan alat tukar resmi adalah rupiah sebagaimana diatur perundang-undangan. “Tapi sejak awal ketika Bapppebti memfasilitasinya, kesepakatannya di Indonesia hanya boleh digunakan sebagai aset investasi. Bukan alat transaksi,” imbuhnya.
Oleh karena itu, ia menilai ada kejanggalan dengan imbauan OJK agar perbankan tidak memfasilitasi transaksi aset kripto. Padahal sejak awal Bappebti merumuskan kripto sebagai komoditas investasi. “Bagaimana bisa investor membeli atau berinvestasi aset kripto kalau tidak bisa menggunakan rekening bank sebagai jembatan untuk beli atau jual aset kripto ke pedagang kriptonya? Kan ini aset digital, masa beli dan jualnya lewat pedagang langsung secara offline,” tegas Nailul.
Meski demikian, Nailul sepakat jika SWI dan OJK larang fasilitasi kripto jika perdagangan bersifat ilegal, termasuk dilakukan oleh pedagang kripto yang tidak terdaftar.
“Selama ini Bappebti sudah merilis mana saja pedagang kripto dan koin kripto yang terdaftar dan berizin resmi di Bappebti. Seharusnya itu sudah cukup jadi acuan untuk melakukan pengawasan dan mengendalikan keterlibatan bank,” tambah Nailul.
Baca: Dapat Lampu Hijau! Bappeti Akui 229 Aset Kripto di Indonesia
Bikin Peluncuran Bursa Kripto Telat
Sementara itu, Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengungkapkan adanya gesekan dengan OJK akan berdampak pada telatnya peluncuran bursa kripto. Sebab, fungsi lembaga keuangan, dalam hal ini bank nantinya akan sebagai kustodian untuk perdagangan aset kripto. Kustodian ini paling penting posisinya.
Baca juga: Transaksi 2021 Capai Rp859 triliun, Pemerintah Siapkan Bursa Kripto
“Jadi saya tidak heran kenapa launching bursa kripto ini molor terus dari semester II/2021 lalu. Rupanya ada deadlock antara Bappebti dan OJK dalam melaksanakan perdagangan aset kripto yang diakui negara, dalam hal ini bursa kripto,” ungkap Ibrahim.
Dengan kendala itu, termasuk imbauan OJK larang fasilitasi kripto akan membuat dampak lanjutan. Seperti kian sulitnya aset kripto diterima di masyarakat. “Bahkan akan makin berjamuran aktivitas perdagangan kripto yang sulit dipantau keamanannya. Negara makin sulit untuk meregulasi aset kripto ini,” ungkap Ibrahim.
Eksplorasi konten lain dari Gizmologi.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

