Jakarta, Gizmologi – Bagi masyarakat di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T), kehadiran sinyal internet di wilayahnya merupakan kemewahan tersendiri. Di balik kemewahan tersebut, ada segudang kegigihan yang jauh dari sorotan.
Sebut saja Mirwan, pria berusia 28 tahun yang merupakan salah satu pekerja mitra pemerintah dalam pembangunan menara Base Transceiver Station (BTS) di Kampung Lut Jaya, Kabupaten Aceh Tengah. Dia tidak pernah menyangka bahwa dirinya ditempatkan di daerah yang sama sekali jauh dari perkiraannya.
“Jangankan masuk ke daerah pelosok seperti ini, ke Aceh saja belum pernah. Makanya saya cukup mengalami culture shock, bukan hanya dari kehidupan masyarakat setempat, tetapi juga medan yang saya lewati,” ujar pria asal Cimahi, Jawa Barat ini kepada Gizmologi.
Awalnya Mirwan memang mengaku merasa berat ketika dilibatkan dalam proyek pembangunan menara BTS di wilayah tersebut, namun hati nuraninya tergetar ketika melihat kehidupan masyarakat setempat. Berlimpahnya sinyal internet di tempat tinggalnya ternyata menjadi hal yang tidak bisa dimiliki mereka.
“Ada hal-hal yang kita anggap biasa saja, ternyata sangat berarti untuk mereka. Saya sampai merasa malu mengeluhkan kualitas internet yang kadat lemot di rumah saya. Sementara saudara kita di kawasan ini sama sekali belum menikmati internet,” ungkapnya.
Setelah melihat ketimpangan tersebut, Mirwan merasa mendapatkan energi yang memperkuat batinnya untuk berkontribusi dalam menyediakan akses internet untuk masyarakat setempat. Tak terasa dia menghabiskan waktu sekitar 3 tahun di beberapa titik di kabupaten tersebut.
“Saya yakin internet bisa membuat hidup mereka lebih baik. Setidanya inilah kontribusi yang bisa saya lakukan dalam hidup. Semoga ini jadi amal jariyah saya nantinya,” imbuhnya.

Ketika Mirwan mengaku kontribusinya terbilang lancar-lancar saja dalam pembangunan BTS, tidak begitu dengan Gunadi, yang mendapatkan “jatah” pembangunan di kawasan Indonesia Timur yang tidak semulus dugaan. Selain medan yang menantang, dia juga harus dihadapi tantangan konflik sengketa yang melibatkan warga setempat.
“Saya kurang paham bagaimana konflik tersebut terjadi. Yang pasti saya bersama teman-teman lainnya merasa tertekan dan terancam, karena ada oknum masyarakat yang menghalang-halangi pekerjaan ini. Bahkan mereka juga ada yang membawa-bawa senjata tajam,” kenangnya.
Beruntung kasus sengketa tersebut bisa terselesaikan di tengah pembangunan BTS. Pada akhirnya, seluruh tim yang terlibat dari proyek tersebut merasa diterima masyarakat setempat.
“Di bulan-bulan pertama, jujur saya saya merasa ketakutan. Karena ini jauh dar mana-mana dan saya selalu mempertanyakan keamanan saya. Tapi akhirnya semua bisa diselesaikan dengan baik, masyarakat setempat malah bersyukur adanya pembangunan BTS di daerahnya,” ungkapnya.
Tantangan Pekerja Menara BTS di Daerah 3T
Memang tidak bisa dipungkiri, proyek pembangunan BTS tidak hanya mengandalkan pekerja yang memahami seluk-beluk teknikal, tetapi harus memiliki nyali besar. Pekerjaan ini menuntut kecerdasan, ketangkasan, dan integritas yang tinggi, karena selain lokasinya sangat jauh dengan medan yang berbahaya, ada konflik yang bisa saja terjadi di kawasan tersebut.
Meninggalnya 8 pekerja BTS yang dibunuh oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua, pada awal Maret 2022 mungkin bisa menjadi gambaran betapa pekerjaan ini sangat berisiko. Saat itu para korban yang merupakan pekerja jaringan telekomunikasi PT Palapa Timur Telematika (PTT) sedang memperbaiki menara BTS 3 Telkomsel di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua.
Mengingat lokasi kejadian berada di daerah pelosok, pihak kepolisian mengaku kesulitan melakukan evakuasi para korban. Apalagi mengingat wilayah tersebut hanya bisa diakses menggunakan helikopter.
Namun, terlepas dari risiko yang ada, keberhasilan pembangunan BTS di kawasan 3T menorehkan kebanggaan tersendiri bagi mereka yang terlibat. Hal ini dianggap Mirwan seperti cahaya dalam kegelapan.
“Saya bisa melihat sendiri bagaimana perbedaan kehidupan masyarakat dari sebelum dan sesudah ada internet. Ada yang bisa memanfaatnya untuk berdagang, ada juga untuk pendidikan. Bisa dilihat pembangunan sebuah desa sangat jelas kemajuannya dibandingkan sebelum ada internet,” ujarnya.
Mirwan dan Gunadi merupakan contoh dari segelintir para pekerja yang terlibat dalam pembangunan BTS yang digencarkan pemerintah lewat Bakti Kominfo. Mereka bukan hanya meninggalkan zona nyamannya, tetapi juga mempertaruhkan jiwa raganya dalam mewujudkan akses internet di sebuah kawasan. Ini adalah sebuah kontribusi besar yang mungkin selama ini luput dari perhatian kita semua.
Sementara itu, Program Bakti Kominfo terus berupaya memperkuat ekosistem digital melalui Bakti Aksi (Akses Internet), Bakti Sinyal (BTS), Satria-I (Satelit Republik Indonesia), dan Palapa Ring dengan menyediakan akses internet melalui VSAT, radio link, dan fiber optik. Adapun realisasinya saat ini sudah menyentuh lebih dari 14 ribu titik di seluruh Indonesia.
Untuk Bakti Sinyal, pembangunan menara BTS kini sudah menjangkau total lebih dari 6.000 lokasi stasiun pemancar sebagai pengirim dan penerima sinyal internet Bakti di daerah 3T. Menurut Yulis Widyo Marfiah, Plt. Direktur Layanan TI untuk Masyarakat & Pemerintah Bakti Kominfo, pembangunan infastruktur telekomunikasi di daerah tersebut bukanlah perkara yang mudah.
Hal ini dikarenakan banyak tantangan yang harus dihadapi, mulai dari lokasi geografis yang tidak mendukung, ketersediaan listrik yang terbatas, hingga faktor biaya yang tidak sedikit. Namun, pembangunan menara BTS di daerah 3T tetap harus berjalan agar masyarakat setempat bisa memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
“Di sini peran negara sangat penting, agar semua masyarakat bisa merasakan manfaat telekomunikasi sesuai amanat UU,” ujarnya baru-baru ini di Festival Literasi Digital yang diselenggarakan Bisnis Indonesia Group.
Dengan target Bakti Kominfo yang sangat tinggi tersebut, tentunya dibutuhkan pula tenaga-tenaga yang mengisi pembangunan proyek menara BTS. Mereka bukan sekedar sumber daya manusia (SDM), tetapi juga para pahlawan yang terus berjuang mewujudkan akses internet hingga ke daerah pelosok.
Baca juga: PR Satgas BAKTI Kominfo Ditarget Rampungkan BTS 4G dalam Satu Tahun
Mungkin jasa mereka tidak dikenang, tapi selama sinyal internet terus benderang menerangi kehidupan masyarakat Indonesia, selama itu juga menjadi pengingat untuk kita semua bahwa di setiap bit-nya ada titik keringat mereka. Ya, mereka adalah pahlawan di balik tegaknya menara BTS di pelosok negeri ini.
Eksplorasi konten lain dari Gizmologi.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.




