Jakarta, Gizmologi – Pertemuan COP16 yang kembali membahas artificial intelligence di Cali, Kolombia, Oktober lalu sudah menjadi momentum penting bagi hampir 200 negara untuk mengevaluasi kemajuan mereka dalam mencapai target global COP15. Fokus utama pertemuan ini adalah mencari solusi efektif untuk menghentikan hilangnya habitat alami dunia pada tahun 2030. Indonesia, sebagai salah satu dari 17 negara megadiversitas yang memiliki sekitar 70% keanekaragaman hayati dunia, turut mengambil peran penting dengan mengajukan Rencana Strategi dan Aksi Keanekaragaman Hayati Nasional (NBSAP).
NBSAP dirancang sebagai panduan strategis untuk melindungi keanekaragaman hayati, melibatkan sektor lintas disiplin, dan menjadi acuan dalam pengambilan keputusan pemerintah. Dengan adanya rencana ini, Indonesia menunjukkan komitmen untuk melestarikan sumber daya alamnya, sejalan dengan tujuan global. Dalam prosesnya, negara-negara harus memanfaatkan data besar yang kompleks, seperti informasi satelit Sentinel-2 dan proyeksi cuaca, untuk mendukung rencana konservasi berbasis bukti.
Namun, pengelolaan data yang sangat besar ini menjadi tantangan tersendiri. Di sinilah peran teknologi, seperti artificial intelligence, menjadi solusi inovatif. AI generatif, termasuk model bahasa besar (LLM) seperti IBM Granite, memungkinkan pemrosesan data yang efisien untuk mendukung keputusan strategis. Dengan alat ini, analisis dan prediksi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan akurat, mempercepat langkah menuju keberlanjutan.
Baca Juga: Pertumbuhan Aplikasi Generative AI Meningkat Pesat, Dibutuhkan Konektivitas Kelas Atas
Teknologi AI untuk Konservasi: Dari Hutan ke Lautan

Artificial intelligence telah membuktikan perannya dalam mengatasi tantangan konservasi. Salah satu contohnya adalah penggunaan alat IBM Maximo Visual Inspection (MVI) yang dipinjamkan kepada WWF-Jerman untuk memantau pergerakan gajah hutan Afrika di Cekungan Kongo. Gajah ini bukan hanya spesies penting, tetapi juga berfungsi sebagai “insinyur ekosistem” yang menjaga kesehatan hutan. Dengan melacak pergerakan mereka, peneliti dapat memahami dinamika ekosistem dan mengambil langkah-langkah perlindungan yang tepat.
Selain hutan, teknologi serupa juga diterapkan dalam konservasi terumbu karang. Terumbu karang adalah habitat penting yang menopang sekitar 25% kehidupan laut. Sayangnya, perubahan iklim telah memberikan tekanan besar pada keberlangsungan ekosistem ini. The Reef Company, sebuah organisasi yang memulihkan terumbu karang, bekerja sama dengan IBM untuk memanfaatkan platform data laut BluBoxx. Teknologi ini mengumpulkan informasi penting seperti suhu, pH, dan karbon dioksida, membantu memahami perubahan lautan dan menentukan lokasi ideal untuk pemulihan terumbu karang.
Inisiatif ini tidak hanya mendukung ekosistem laut tetapi juga manusia. Terumbu karang berperan sebagai penyerap karbon dan sumber makanan bagi miliaran orang. Dengan teknologi berbasis AI, langkah pemulihan ini menjadi lebih terarah, memungkinkan penyelamatan ekosistem penting dalam skala yang lebih besar.
Masa Depan Konservasi dengan AI

Meskipun teknologi artificial intelligence menawarkan solusi menjanjikan, tantangan tetap ada, terutama terkait konsumsi energi. Model artificial intelligence yang besar membutuhkan daya komputasi tinggi, yang dapat berkontribusi pada emisi karbon. Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan antara penggunaan teknologi dan pengelolaan dampak lingkungannya.
Namun, potensi artificial intelligence dalam konservasi tidak bisa diabaikan. Dengan kemampuan memproses data dalam jumlah besar, AI dapat memberikan wawasan mendalam tentang dinamika keanekaragaman hayati, dari pola migrasi hewan hingga dampak perubahan iklim terhadap habitat. Pemerintah dan organisasi kini memiliki alat yang lebih canggih untuk mengidentifikasi masalah, merancang solusi, dan mengukur efektivitasnya.
Inisiatif seperti NBSAP Indonesia dan kolaborasi internasional lainnya menunjukkan bahwa langkah maju ini tidak bisa dilakukan sendiri. Dukungan teknologi, kerjasama lintas negara, dan komitmen untuk melindungi lingkungan adalah kunci untuk mencapai tujuan keberlanjutan. Dengan memanfaatkan artificial intelligence secara bijak, dunia memiliki peluang lebih besar untuk melindungi planet ini bagi generasi mendatang.
COP16 menandai langkah besar dalam upaya konservasi global, dengan fokus pada kolaborasi dan pemanfaatan teknologi canggih seperti artificial intelligence. Indonesia, bersama negara-negara lain, menunjukkan bahwa melestarikan keanekaragaman hayati membutuhkan pendekatan terpadu dan inovatif. Dengan AI, pengelolaan data dan perencanaan konservasi dapat dilakukan secara efisien, meskipun tantangan energi harus tetap diawasi. Dalam perjalanan ini, kerjasama global dan inovasi teknologi menjadi harapan besar untuk masa depan yang berkelanjutan.
Eksplorasi konten lain dari Gizmologi.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.




