Semakin banyak orang di dunia mengakses berita melalui media sosial dan meninggalkan akses langsung ke perusahaan media, menurut survei Reuters Institute tahun 20231. Konsumsi berita kini dilakukan secara tidak sengaja, dan bukan soal beritanya, tapi karena keinginan untuk bersosialisasi dan menghabiskan waktu.2
Engagement di media sosial yang berbasis video pendek, seperti TikTok, meningkat, diikuti dengan turunnya engagement di media sosial tradisional seperti Facebook. Saat ini, Indonesia telah menjadi negara dengan pengguna TikTok terbesar kedua di dunia, dengan jumlah pengguna 126,8 juta di bawah Amerika Serikat dengan 148,9 juta pengguna, menurut Statista.
Sebanyak 39 persen pengguna TikTok di Indonesia adalah Gen Z (lahir antara tahun 1997-2012) dan 47 persennya adalah generasi Milenial (lahir antara tahun 1981-1996). Audiens yang disurvei oleh Reuters Institute mengatakan bahwa mereka lebih memperhatikan selebritas, pemengaruh (influencer) dan selebritas media sosial dibandingkan dengan jurnalis, dalam media sosial seperti TikTok, Instagram dan Snapchat.
Peran jurnalisme di TikTok

Jurnalisme punya peran penting di TikTok untuk membawa berita penting yang akurat dan mudah dicerna ke hadapan audiens muda3. Kepopuleran TikTok membuat perusahaan media turut membuka akun di aplikasi itu dan mempublikasikan kontennya di TikTok. Apa artinya kepopuleran TikTok dan algoritmanya untuk media massa dan jurnalisme?
Penelitian yang dilakukan oleh Vázquez-Herrero pada 20224 meneliti 234 organisasi, termasuk TV, media dan program berita. Media beradaptasi dengan konten TikTok dan menggunakan karakter khas TikTok dalam hal cara berbahasa dan estetikanya, elemen-elemennya (teks, transisi, filter, stiker, GIF dan efek visual) dan aplikasi pengeditan video.

Jurnalisme punya peran penting di TikTok untuk membawa berita penting yang akurat dan mudah dicerna ke hadapan audiens muda.
– Famega Syafira
Penelitian tersebut melihat praktek-praktek yang tidak lazim ditemukan dalam konten media, namun diadaptasi oleh media dalam konten TikTok-nya, seperti video lucu, video keseharian dan video tantangan. Adaptasi ini diselingi format klasik media seperti berita, atau potongan-potongan wawancara. Kadang, konten agak menyimpang dari jurnalisme demi tetap relevan dengan anak-anak muda.
Tanpa mengubah prinsip jurnalisme, namun media memposisikan mereknya dan hal-hal yang terjadi di balik layar secara kasual, yang sesuai dengan audiens TikTok. Hal ini dilakukan dengan cara yang santai dan asyik, dan mencoba mencari keseimbangan antara menyajikan fakta, dengan emosi positif dan sesuai tren.
Algoritma mainkan peran penting

Meskipun setiap media mempunyai akun sendiri di TikTok, pengguna melaporkan5 bahwa mereka biasanya tidak mengikuti akun-akun ini, dan hanya mengkonsumsi video yang muncul di bagian For You Page. Algoritma rekomendasi konten memainkan peran penting di TikTok sebagai aktor yang menentukan sampainya sebuah konten di hadapan para pengguna aplikasi.
Media memahami dinamika ini dan beradaptasi dengan cara turut serta dalam tren-tren yang sedang viral, demi membuat konten mereka semakin populer. Tagar yang sedang menjadi tren digunakan untuk memasarkan konten agar lebih banyak dilihat, dan potongan musik yang sedang populer dipakai pula sebagai latar suara. Melihat hal itu, peneliti6 menyimpulkan bahwa respons media sangat dipengaruhi oleh teknologi dan penggunaannya, dan media berusaha agar kontennya dapat terintegrasi ke dalam sistem jaringan TikTok dengan fitur-fitur yang sangat khusus ini.
Adaptasi media massa di TikTok juga sangat khusus karena perlakuan yang sama tidak dapat digunakan di website utama maupun di media sosial lainnya. Penelitian menemukan7 ada empat macam konten media di TikTok yang dibedakan menurut fungsinya, yaitu informasi, distribusi video aneh dan lucu, promosi, dan turut serta dalam tantangan yang viral. Sebanyak 58,2 persen post bertujuan memberikan informasi dan 48,9 persen terkait dengan kejadian terkini. Ada pula media yang berusaha memberikan berita harian, tapi TikTok tidak memprioritaskan konten terbaru.
Studi lintas negara8 menemukan bahwa secara umum, media massa cenderung memilih berita ringan dalam unggahan TikTok mereka. Ketika menyajikan berita yang lebih serius, mereka menggunakan bahasa yang lucu, penuh trik, dan mengandung elemen komedi sesuai dengan struktur platform TikTok. Jurnalis pun kemudian harus beradaptasi dengan cara TikTok menyebarkan kontennya.
Penelitian lain9 dengan sampel 63 jurnalis yang mempunyai akun di TikTok memberikan gambaran keberadaan jurnalis di platform tersebut. Alasan utama para jurnalis bergabung di TikTok adalah untuk bertemu dengan audiens baru (50,8 persen), dan seperempatnya (23,8 persen) hadir di TikTok karena iseng. Ada pula wartawan yang menjadikan TikTok sebagai salah satu saluran untuk melaporkan berita (12,7 persen) dan 9,5 persen menjawab untuk melihat ada apa di platform baru ini.
Tantangan jurnalis dan media di TikTok: sulit mendapatkan panggung

Memiliki dan aktif di suatu media sosial adalah hal yang sangat menyita waktu, dan para jurnalis ini menghabiskan waktu antara 1-3 jam sehari untuk mengurusi akun TikToknya (42,6%). Di TikTok, para jurnalis menghadapi tantangan yang berupa kesulitan mendapat perhatian para pengguna yang sebagian besar datang untuk mencari hiburan. Persona seseorang lebih menarik pengguna dibandingkan berita mainstream, membuat jurnalis lebih tidak diperhatikan di TikTok dibandingkan di media sosial lain seperti X atau Facebook.
Meskipun media dan jurnalis telah berusaha beradaptasi, konten berita masih sulit mendapatkan panggung di Tiktok. Sistem yang melakukan kurasi dan rekomendasi nampak tidak konsisten dalam merekomendasikan berita, sedangkan algoritma di bagian For You Page (FYP) juga nampak segan memunculkan konten berita10.
Riset pada 120 akun berita11 menemukan bahwa rekomendasi algoritma TikTok menghalangi pengguna dari konten berita produksi perusahaan media. Akun situs berita di TikTok mendapatkan jumlah interaksi yang sangat rendah dibanding konten lainnya. Rata-rata video situs berita disaksikan 4.703 kali, sedangkan rata-rata video milik akun non-berita disaksikan 198.800 kali.
Kombinasi rekomendasi personal dan konten yang praktis tak terbatas membuat konsumsi berita semakin mengecil karena orang lebih memilih menonton hal yang lebih menghibur. Adanya bubble karena algoritma mengurung seseorang untuk hanya melihat konten-konten yang disarankan algoritma, sebuah keprihatinan banyak orang jika menyangkut rekomendasi algoritma.
Meskipun media massa sudah aktif memproduksi konten khusus untuk TikTok, sebagian besar hanya mendapatkan sedikit penonton. Akun median dalam sampel berita di riset ini memiliki 256.500 pengikut; 78% akun memiliki kurang dari 1 juta pengikut; dan lima akun—Bleacher Report, NBC News, Complex, E! News, dan NowThis Politics—memiliki lebih dari 3 juta pengikut. Namun, data menunjukkan bahwa video biasa dari akun yang sedang tren di TikTok 42 kali lebih populer daripada video yang dipublikasikan oleh ratusan akun-akun berita dalam penelitian tersebut.
Meskipun media massa sudah aktif memproduksi konten khusus untuk TikTok, sebagian besar hanya mendapatkan sedikit penonton.
Tidak jelas apakah sedikitnya interaksi ini berasal dari ketidaktertarikan pengguna, atau karena TikTok sebagai platform memang enggan mendorong konten-konten berita. Algoritma FYP tidak memunculkan konten berita, dan hanya ada sangat sedikit topik ‘hard news‘ yang muncul di tagar yang sedang menjadi tren. Konten hiburan dan budaya pop lah yang mendominasi. Riset ini menemukan hanya 18% rekomendasi TikTok yang terkait dengan produk jurnalistik.
Penelitian mentargetkan video yang masuk dalam salah satu syarat ini: dibuat oleh akun berita yang ada dalam daftar, atau kontennya bicara soal berita terkini. Dari 6.568 video, tidak ada satupun rekomendasi di FYP yang berasal dari situs berita resmi. Hanya 6 video yang memenuhi syarat kedua, dan enam video itu sebenarnya adalah dua video berbeda yang muncul beberapa kali. Justru yang muncul adalah konten yang nampak seperti produk jurnalistik, padahal bukan. Penelitian ini juga menemukan bahwa tagar berita dan hiburan di TikTok didominasi oleh tagar hiburan.
Meskipun demikian, dengan pengguna TikTok yang berjumlah 126,8 juta di Indonesia, media massa tidak dapat lagi mengabaikan TikTok sebagai salah satu saluran keberadaannya di media sosial. Media, jurnalis, dan platform verifikasi harus terlibat dalam platform baru seperti TikTok, meskipun media massa tidak bisa menarik pembaca ke website mereka secara langsung dari platform media sosial tersebut.
TikTok dapat digunakan untuk memperluas jangkauan pesan kepada segmen audiens baru dan meningkatkan kehadiran merek media di kalangan anak-anak muda. Juga sebagai langkah inovatif untuk mengatasi fenomena disinformasi, seperti berita palsu dan spekulasi yang semakin tersebar melalui saluran digital12.
Perlu strategi khusus

TikTok masih akan menjadi bagian dari khasanah media sosial dalam beberapa waktu ke depan, sehingga media harus bersedia menjadi bagiannya, agar terus relevan dan tidak tertinggal oleh zaman.
Untuk tetap relevan di TikTok, media harus memiliki strategi khusus, mengalokasikan sumber daya khusus untuk menciptakan konten untuk TikTok yang mungkin berbeda dari praktek jurnalisme yang biasanya dilakukan media tersebut.
Tantangannya untuk media adalah bagaimana media bisa mengubah konten dan tugas jurnalistiknya untuk mengikuti cara kerja TikTok demi membangun kesetiaan khalayak media di masa depan, tanpa mengorbankan kualitas jurnalisme dan reputasi media tersebut.
Jurnalis juga harus menemukan cara-cara baru untuk tetap relevan dan hadir di TikTok dengan menyesuaikan dengan cara-cara yang lazim di TikTok, namun dengan menjaga keseimbangan untuk tetap menjaga prinsip prinsip dasar jurnalisme.
Artikel opini ini ditulis oleh Famega Syafira, mahasiswa program pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.
Referensi:
- 1. Reuters Institute: Digital News Report 2023 ↩︎
- 2. Sage Journals: https://doi.org/10.1177/1461444817750396 ↩︎
- 3. Taylor & Francis: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1461670X.2023.2293829 ↩︎
- 4. Cogitatio Media & Communication: https://www.cogitatiopress.com/mediaandcommunication/article/view/4699 ↩︎
- 5. Icono14: https://icono14.net/ojs/index.php/icono14/article/view/1770 ↩︎
- 6. https://doi.org/10.17645/mac.v10i1.4699 ↩︎
- 7. https://doi.org/10.17645/mac.v10i1.4699 ↩︎
- 8. https://doi.org/10.55609/yenimedya.1089436 ↩︎
- 9. https://doi.org/10.17645/mac.v10i1.4699 ↩︎
- 10. https://doi.org/10.1177/14614448231192964 ↩︎
- 11. https://doi.org/10.1177/14614448231192964 ↩︎
- 12. https://doi.org/10.4185/RLCS-2021-1522 ↩︎
Eksplorasi konten lain dari Gizmologi.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.


