Jakarta, Gizmologi – Kehadiran Starlink di Indonesia masih menjadi pro dan kontra, kali ini mantan staf ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Henri Subiakto mengungkapkan pendapatnya mengenai Starlink di X. Dengan akun @henrysubiakto,ia mengatakan hadirnya Starlink berbahaya bagi Indonesia.
“Saya tidak setuju Starlink diijinkan beroperasi di Indonesia. Starlink tak hanya berpotensi membangkrutkan perusahaan nasional di bidang telekomunikasi & internet service provider, seperti group telkom, indosat dll., tapi Starlink juga bisa dimanfaatkan kekuatan sparatisme (separatisme) seperti KKB (Kelompok kriminal bersenjata)/OPM (Organisasi Papua Merdeka) dll., untuk komunikasi mereka tanpa terdeteksi negara atau pemerintah Indonesia,” terang Henri.
Henri merasa kehadiran Starlink di Indonesia bisa berpotensi mengoyak atau menghancurkan Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI). Pendapat ini ia sebutkan karena berdasar Starlink yang lebih banyak digunakan oleh negara-negara satelit atau pendukung Amerika Serikat (AS). Selain itu tentu ada penyebab lainnya yang membuat Henri merasa Starlink berbahaya dan ia memikirkan bagaimana konsekuensi hadirnya Starlink di Indonesia?
Baca Juga: Harapan Kemenkes Hadirnya Jaringan Starlink, Bisa Jangkau 7.000 Puskesmas di Indonesia
Starlink Ikut Hukum di Indonesia atau di Luar?

Starlink menurut Henri memiliki kemampuan yang lebih unggul dibanding kemampuan satelit konvensional saat ini. Starlink merupakan satelit Low Earth Orbit (LEO) yang beroperasi dengan ketinggian sekitar 340 hingga 1.200 km di atas permukaan bumi. Sedangkan satelit komunikasi konvensional ditempatkan di orbit geostasioner (GEO) sekitar 35.786 km di atas khatulistiwa bumi, berada di satu titik relatif tetap dari permukaan bumi.
Starlink memiliki berat sekitar 260 kg daripada satelit GEO yang lebih besar dan mahal karena teknologi dan perlengkapan lebih kompleks, dengan kebutuhan bertahan di orbit yang lebih tinggi. Starlink menggunakan teknologi phased-array untuk antena, yang memungkinkan satelit mengarahkan sinyal tanpa harus memindahkan satelit itu sendiri.
Lalu sistem Starlink dirancang untuk latensi rendah dan kecepatan tinggi. Bahkan alat penangkap sinyal satelit hanya menggunakan antena kecil dan alat seukuran laptop besar yang bisa di pindah-pindahkan.
“Sedangkan satelit GEO harus pakai antena besar yang tetap untuk komunikasi berkapasitas tinggi. Karena itu satelit konvensional butuh mitra untuk mendistribusikan layanannya ke masyarakat. Itulah perusahaan operator seluler dan ISP (Internet Service Provider) yang menjadi mitranya. Beda dengan Starlink yang tidak butuh mitra. Mereka bisa melayani langsung ke publik tanpa pihak ketiga. Maka masuknya Starlink bisa jadi awal kematian perusahaan-perusahaan nasional di bidang internet, seluler dan juga satelit,” jelas Henri.

Dengan penjelasannya tersebut, ia mengambil kesimpulan Starlink bukan hanya sekedar perusahaan perangkat dan layanan satelit semata, tapi Starlink juga berfungsi sebagai perusahaan ISP, bahkan bisa berfungsi sebagai platform digital, mengingat Elon Musk, pemilik Starlink, juga memiliki perusahaan X (dulu Twitter). X menurut Henri tak hanya sekedar media sosial, melainkan mengarah ke platform media komunikasi.
“Ini bahayanya. Perusahaan Starlink, trafik dan kontennya di luar jangkauan yuridiksi, kedaulatan digital dan kewenangan hukum nasional, selain bisa dimanfaatkan untuk melawan kedaulatan negara dan mengancam keamanan nasional. Perusahaan Starlink sebagai perusahaan AS dilindungi US Cloud Act 2018. Data yang mereka kumpulkan atau berada di perusahaan itu tidak boleh diakses negara lain (termasuk Indonesia), tapi harus terbuka pada pemerintah dan penegak hukum AS. Persoalannya Starlink apa mau nurut hukum di Indonesia atau hukum AS?,”
“Kalau mereka melayani Papua atau daerah konfik lain, datanya bisa diakses intelejen dan pemerintah AS untuk kepentingan politiknya. Sebaliknya data-data itu tidak bisa diakses pemerintah Indonesia. Disitulah kenapa Starlink berbahaya bagi NKRI, saat melayani wilayah gunung-gunung dan pedalaman Papua,” cuitnya.
Ia mengambil contoh seperti yang terjadi di Ukraina, Starlink dipakai tentara Ukraina melawan Rusia. Rusia kewalahan karena pergerakan pasukannya bisa terpantau tentara Ukraina.
Henri mengaitkan kejadian tersebut dengan contoh bagaimana jika KKB/OPM juga menggunakan fasilitas Starlink? Bahkan bila gerakan tersebut didukung oleh negara asing? Siapa yang mau bertanggungjawab jika kasus atau masalahnya semakin besar.
“Bagi rakyat kecil tahunya internet murah dan sampai pelosok-pelosok pasti didukung. Tapi bagaimana konsekuensinya, itu yang harus dipikirkan. Agak mending kalau Elon bersedia setuju dan komit tunduk pada UU Indonesia. Lalu wilayah layanan tidak mencakup wilayah rawan seperti Papua? Apakah Elon Musk mau? Silahkan ditanyakan pada mereka!!,” tutur Henri.
Pengujian Starlink di Indonesia Dimulai Bulan Ini

Starlink di Indonesia dari awal memang ditujukan untuk pemerataan jaringan internet di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Jaringan ini sudah resmi diuji coba di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN), Bali dan Maluku. Di IKN dimulai pengujiannya Senin (20/5/2024), terdapat titik pengujian seperti rumah sakit umum daerah dan beberapa titik di sekitaran wilayah Sepaku, mengutip Antaranews.
Sedangkan untuk Bali dan Maluku merupakan uji coba jaringan Starlink untuk fasilitas layanan kesehatan. Terdapat tiga fasyankes yaitu Puskesmas Pembantu (Pustu) Sumerta Kelod, Denpasar, Puskesmas Pembantu (Pustu) Bungbungan, Klungkung, dan Puskesmas Tabarfane di Kepulauan Aru, Maluku. Tentunya pengujian Starlink di Indonesia ini masih akan memerlukan waktu dan untuk kedepannya Gizmologi akan melaporkan kembali.
Eksplorasi konten lain dari Gizmologi.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.




